Minggu, 01 Mei 2016

DARI TEMPURUNG KELAPA KARYA TERCIPTA



Junaedi Tora 25 tahun, seorang pengrajin tempurung kelapa, Ia tinggal di lingkungan Pure Selatan, Kelurahan Sinyonyoi—tidak jauh dari Bandara Tampa Padang—Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju. Ia hanya bermodalkan peralatan sederhana untuk membuat ragam bentuk yang dihasilkan, Seperti: cangkir, cerek, asbak rokok, miniatur perahu, muniatur kapal, miniatur kakao dan beberapa pernak-pernik pajangan yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. 


Juned sapaan akrapnya, ia bercerita, awalnya, ia mulai mengumpulkan limbah tempurung kelapa yang ada di sekitar rumahnya itu sejak tujuh bulan lalu, ia kemudian membersihkan dan membentuk beberapa tempurung kelapa yang telah di kumpulkan itu—dengan peralatan yang seadanya seperti, gergaji, amplas, cat dan lain-lain—menyerupai cangkir atau gelas. Hasil karya perdana, pria Kelahiran 1990 silam ini, dikirim ke salah satu kerabatnya yang ada di Kalumpang untuk dipasarkan. Menurutnya, cangkir berbahan batok kelapa yang dikirim ke Kalumpang ini, sering dipakai kerabatnya dalam menyajikan kopi kepada tamu yang berkujung kerumahnya, sehingga masyarakat Kalumpang dengan sendirinya mulai tertarik. Walhasil pesanan banyakpun mulai berdatangan kerumah Junaedi, di Pure, Kecamatan Kalukku.
 Banyaknya pesanan yang datang kerumah Junaedi ini, membuatnya semakin optimis bahwa usaha kerajinan tempurung kelapa yang baru ia rintis, dapat menjanjikan keuntungan. “Setelah karya pertama saya yang berupa cangkir, mulai diminati masyarakat, maka saya semakin semangat untuk menggeluti usaha ini. Bahkan cangkir buatan pertama saya yang sangat sederhana mulai saya hiasi dengan beraneka ragam ukiran. Hal ini saya lakukan supaya minat pembeli semakin meningkat,” cerita Junaedi kepada Koran ini, di kediamannya, di Pure, Kecamatan Kalukku, 17 Februari 2016.
Juned pun terus berinovasi, dengan modal yang ia kumpulkan dari hasil jualan karyanya ini. Ia pun kemudian memperbanyak motif—tentunya sama dari tempurung kelapa—seperti gambar hewan, miniatur perahu sandeq, miniatur kapal, asbak rokok, celengan, tempat tissu, pot bunga, miniatur kakao dan masih banyak lagi karya dalam bentuk pajangan yang di buat Junaedi. “Saya sudah membuat banyak karya dalam beraneka ragam bentuk. Yang bahannya sama dari tempurung kelapa,” kata Juned lagi sembari merapikan hasil karyanya ini.
Lelaki yang sudah dikaruniai satu anak ini, mengatakan, mengubah limbah kelapa menjadi benda yang bernilai seni tidaklah sulit baginya. Dalam sehari Ia mampu membuat 2-3 karya, diantaranya, gambar hewan, miniatur kakao dan  miatur perahu. Jika karyanya itu dihitung dengan rupiah, maka dapat dirata-ratakan mampu memproduksi uang sebanyak Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu dalam sehari. Menurut Juned, penghasilan yang ia dapatkan dari penjualan kerajinan tangannya itu sudah lebih dari cukup untuk menafkahi keluarganya.
Dalam  menjalankan usaha pria kekar bekuliat sawo matang ini, tidak sendiri. Perjuangan dalam berkarya di topang oleh sang istri tercintanya, Resti namanya. Resti adalah sosok perempuan yang kreatif dan agresif dalam membantu suaminya. Ia mengambil peran, dalam memasarkan hasil karya suaminya keberbagai tempat seperti tokoh oleh-oleh yang ada di kota Mamuju, dan menawarkan kepada orang-orang hasil karya Suaminya itu. Resti menyebutkan, beberapa waktu yang lalu, Karya yang telah di buat Suaminya telah ia kirim ke Pulau Dewata Bali untuk dipromosikan.
“Saya telah memasarkan hasil kerajinan suami saya ini ke toko oleh-oleh yang ada di kota Mamuju, dan saya juga sementara mempersiapkan tempat penjualan di Bandara Tampak Padang Mamuju. selain itu, saya sudah kirim keteman yang ada di Pulau Dewata Bali, untuk diperkenalkan ke para wisatawan yang ada  disana, jika mereka tertarik, maka kami akan berlangganan kesana,” tutur Resti.
Ia menjual hasil kerajinan suaminya, dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu tergantung dari modelnya. Dalam seminggu, Ia dua kali ke Mamuju untuk memasarkan hasil kerajinannya. Semua barang yang ia bawa, selalu habis terjual, itu artinya kerajinan batok kelapa milik juned dan istrinya diminati banyak orang.
Setiap karya kerajinan batok kelapak milik Juned, dalam bentuk apapun, selamanya dipasangi label yang bertuliskan “Sambabo Face”. Sambabo merupaknan nama salah satu objek wisata air terjun yang ada di Desa Sambabo Kecamatan Bambang Kabupaten Mamasa. Ia sengaja menggunakan nama itu, agar  bisa memperkenalkan pariwisata yang ada di Sulbar kepada pelanggannya. “Saya sengaja menggunakan nama Sambabo, agar objek wisata air terjun yang ada di Kecamatan Bambambang, Kabupaten Mamasa  itu dikenal orang. Sebab Sambabo merupakan salah satu aset wisata Sulbar yang belum terkelolah dengan baik.
Juned Bersama Istrinya berharap, dimasa yanga akan datang usaha saat  ini iageluti,  bisa semakin besar dan dapat mempekerjakan anak-anak putus sekolah yang ada di sekitarnya. Selain itu, ia juga mengharapkan, perhatian dari pemerintah Sulawesi Barat, melalui dinas koperasi, dan perindustrian daerah untuk meberikan bantuan modal, agar usaha kerajinan yang digeluti Juned bisa berkembang. (Nisan Parokkak/ Muh. Iksan Hidayah)

MELAWAN MALU


Malu adalah salah satu sifat yang ada dalam diri manusia, entah pada sifat manusia itu sendiri malu pada jalan positif atau malu ketika berbuat hal yang negative. Namun sifat malu yang dimiliki dua pemuda ini harus ia lawan demi tuntutan kebutuhan hidup dan tambahan pembayaran kuliahnya.
Malu, ya.. sifat pemalu yang kadang membutuhkan keberanian untuk menaklukkan yang namanya rasa malu, entah itu malu karena gengsi ataukah malu karena perbuatan yang ia perbuat melanggar norma. Tapi tidak bagi dua sosok pemuda ini, melawan rasa malu untuk berjualan kopi keliling, sudah barang tentu pekerjaannya mulia, yang sudah jarang kita temui pemuda zaman sekarang meggeluti pekerjaan yang seperti itu. Apa lagi berjualan di tempat keramain, sebagaian mungkin malu karena gengsi tidak ingin dilihat teman-temanya, dilihat guru atau dosennya, atau dilihat pacar atau sahabatnya. Sultan dan Said, mahasiswa Kesehatan—salah satu perguruan tinggi di Mamuju—yang berani mengambil sikap untuk berusaha sendiri dengan berjualan kopi keliling. Kedua pemuda itu mengaku berani berjualan kopi keliling di karenakan kebutuhan hidup di mamuju, biaya kuliah dirinya dan biaya kos di mamuju yang lumayan tinggi biayanya. Meski rasa malu kerap menghampiri dirinya ketika melayani pembeli, tapi karena tekat yang bulat, usaha tersebut tetap ia geluti. “Awalnya kami malu ka’, tapi mau diapami karena kadang terdesakka biaya kuliah dan kosku di Mamuju,” kata Sultan di Pantai Anjungan Mankaarra beberapa waktu lalu.
Sultan dan Said mengahibiskan waktu malamnya untuk berjualan kopi keliling, di wilayah kota Mamuju terutama Pantai Anjungan Manakarra—yang tiap malam ramai dikunjungi, para pengunjung yang hanya ingi bersantai atau sekedar jalan-jalan—menjadi tempat paforit Sultan dan Said menghibiskan waktunya untuk berjualan.  Sultan yang saat ini berumur 24 tahun dan Said 21 tahun. Pada malam itu ia sedang sibuk melayani pesanan kopi para pengunjung secara bergantian, ia bercerita, awal memulai berjualan kopi keliling. Sultan yang saat itu berinisiatif pulang ke kampung halaman untuk mencari sepeda tua—yang sekarang ini lagi ngetren di kalangan anak muda atau yang biasa di sebut sepeda ontel—yang akan gunakan dalam memulai jualan kopi keliling. Sepeda tua yang Sultan temukan itu di kampungnya, ia kemudian membelinya, terpaksa Sultan merongoh tabungan yang selama ini ia simpan untukdesakan pembayaran kuliahnya. Sepeda tua yang Sultan beli itu kemudian ia memodifikasi—dengan menggunakan papan di bagian belakang sepeda dan kantungan untuk kopi saset dan di beri tulisan ‘kopling’ singkatan dari Kopi Keliling di bagian tengah dan belakang sepeda—agar dapat menampung barang yang akan ia bawa seperti, berbagai macam merk kopi saset, tempat penampung air panas dan lain-lain. “Kadang kami ka’ mendapat teguran dan larangan oleh Petugas Satpol- PP untuk berjualan di sini, ya sayapun kemudian pindah ketempat yang tidak terpantau petugas, kemudian pindah lagi ketempat itu, ketika petugas Satpol-PP sudah pergi,” cerita Sultan dan Said. Lanjut Sultan bercerita, ia biasanya beroleh pembeli 10 sampai 15 gelas kopi dalam satu malam dengan harga satu gelas kopi itu Rp. 5.000, dan kalau malam minggu ia dapat beroleh 20 sampai 25 gelas yang laris terjual. “Itu kalau cuaca mendukung ka’ kalau tidak kami tidak keluar berjualan dan Alhamdulillah, kalau kami hitung-hitung kami bias dapat keuntungan dalam satu bulan itu mencapai  1 juta sampai 1,5 juta rupiah yah… dapat menambah kebutuhan koss dan biaya kuliah,” seloroh Sultan dengan wajah yang penuh senyum itu.
Sultan dan Said berkeinginan manmbah Sepeda untuk berjualan di kantor-kantor, karena menurut Sultan berjualan Kopi di kantor-kantor sangat dibutuhkan para pekerja kantoran ketika sedang beristirahat. “Orang yang bekerja di kantoran itukan siang hari, jadi kalau malam hari saya kembali menjual di pantai,” Kata Sultan. (Muh. Iksan Hidayah)