Minggu, 27 Maret 2016

MENYULAP HUTAN MANGROVE MENJADI TEMPAT WISATA



Berangkat dari semangat melestarikan lingkungan, Munajib 40 tahun ditemani kedua putranya—Hendra 22 tahun dan Adrian 17 tahun—menekuni pelestarian tanaman mangrove yang ia dapat dari sekitar hutan mangrove itu sendiri. Hampir setahun usaha tersebut ia lakoni, dan ia kemudian mulai berpikir, agar hutan mangrove itu dapat dimanfaatkan dari segi ekonomi tanpa merusak alam.  






Di Dusun Salulayang Desa Bebanga, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju. Munajib sang pekerja keras, kreatif berprofesi keseharian sebagai nelayan, yang tiap hari kelaut untuk mengais rezeki, guna memenuhi kebutuhan sang istri dan 3 orang anaknya. Munajib tak kenal lelah dan patah semangat, sepulang dari laut, ia memanfaatkan waktu luangnya mencari bibit mangrove—di sekitar hutan mangrove yang lebat itu—untuk ditanam demi meperluas hutan manggorove tentunya. Hampir setahun ia lakoni, dimulai pada tahun 2012 lalu, ia menanam bibit mangrove, menjaga dan memilihara. Nanti pada tahun 2013 ia kemudian diberikan hidayah oleh Tuhan, atas ketulusan hati menjaga dan melestariakan hutan mangrove itu. Ia kemudian sulap tempat itu menjadi tempat yang ramai untuk dikunjungi. Awalnya Munajib, pernah mendengar wisata mangrove paling menarik perhatian wisatawan di Indonesia, itu ada di Bali. Munajib lalu terinspirasi wisata mangrove yang ada di Bali itu, ia pun kemudian berkeinginan menjadikan hutan mangrove di desanya itu seperti dengan wisata mangrove yang ada di Bali. “Teman saya dari Bali, ia menceritakan wisata hutan mangorove yang ada di Bali, lalu kemudian saya termotifasi menjadikan hutan mangorove ini menjadi tempat wisata. di Sulbar mangrove kita sangat potensi, untuk dijadikan sumber ekonomi, baik itu ekowisata, maupun dari segi ekonomi lainnya,” kata Munajib dengan penuh semangat itu. Meski sebagian masyarakat, pesimis dengan apa yang dilakukan Munajib, ia tak perduli, ia tetap semangat pada pendiriannya. “Sejak dari awal saya melakukan ini, masyarakat pesimis tidak ada yang membantu saya. kadang masyarakat bilang, kenapa pak Najib menanam mangrove yang tidak dapat dihasilkan, mending menanam coklat dari pada menanam mangrove tidak ada hasilnya,” kata Munajib kepada Koran Xpresindo mengingat dan menirukan ucapan salah satu warga kepadanya.
Munajib bercerita perjuangannya, membagun wisata di hutan mangrove itu. Awalnya, Munajib menabung menyisihkan sebagian pendapatannya dari hasil tangkapan ikan yang peroleh, tabungan munajib itu kemudian ia gunakan untuk membeli 500 batang bambu, dengan harga Rp 15.000/batagnya. Ia kemudian perlahan membuat jembatan dari bambu diatas pohon mangrove, dari tangkai-ketangkai pohon mangrove, bambu itu dipasang, sepanjang 200 meter, dengan lebar 1 meter, 5 sampai 6 batang bambu berjejer plus pegangannya kanan dan kiri. Setelah jembatan selesai dikerjakan, Munajib kemudian membuat rumah dari bambu—sekarang menjadi tempat istirahat para pengunjung—beratapkan daun pohon rumbia diatas pohon mangrove, agar pengunjung merasakan nyaman dan sejuk. Ia menghabiskan sekitar 15 batang bambu untuk satu rumah kecil berukuran 3x4 meter dan gazebo satu berukuran 1,5x2 meter. Munajib hanya dibatu oleh dua orang anaknya Andrian dan Hendra, sdangkan anaknya yang satu lagi bernam Adrian 15 tahun itu masih kecil. Kadang Munajib mendapat sindiran dari warga sekitar, tetapi munajib tetap semangat, ia tak peduli dengan apa yang dikatakan warga. “Kadang saya dianggap gila awalnya pak, membuat jembatan dan rumah diatas pohon mangrove,” cerita Munajib dengan penuh kenagan itu.
Dalam jangka waktu 5 bulan, lanjut Munajib bercerita, ia dapat beroleh keuntungan dari hasil biaya masuk para pengunjung, yang dibebankan sebesar 5 ribu rupiah untuk sekali masuk. Dari hasil biaya masuk itu, Munajib kemudian menambah rumah menjadi 8 buah, dan gazebo itu menjadi 9 buah sedangkan jembatannya itu ditambah 50 meter lagi panjangnya. “Dulu, pengunjung yang datang kisaran 40-50 orang dalam seminggu, sekarang sudah banyak rumah dan gazebo, itu dapat mencapai 100 orang, dengan fasilitas permainan seperti bebek air, ban renang dan lain-lain,” kata Munajib.
Sikap sosok Munajib yang luwet dalam berkaya ini, mampuh menghipnotis warga setempat, yang pada awalnya Munajib dikucilkan, karena aksinya membuat rumah dan jembatan diatas pohon mangrove. “Saya sudah dibantu beberapa warga. Warga sekitar mulai terbuka pikirannya tentang pentingnya hutan mangrove ini dalam peningkatan ekonomi. Apa lagi, wisata yang kami bangun ini, itu terus di lakukan pembenahan bahkan sekarang jembatannya itu, sudah kita ganti semua alasnya dengan papan, sakin kuatnya biar motor ini bisa dilalui,” seloroh Munajib. Tak henti disitu, Munajib juga nantinya akan mengembangkan lagi wisata Mangrove itu, menjadi tempat industri olahan, seperti minuman dan sabun cuci dari buah mangrove. Bahkan rumput laut—yang sebahagian menjadi mata pencaharian masyarkat desa Bebanga—juga akan di olah menajadi industri olahan makanan. “Di wisata mangrove ini nantinya saya akan membuat pelatihan bagi masyarakat mengenai pengolahan buah Pidada, atau buah pohon mangrove, itu dapat dijadikan minuman yang segar, dan sabun cuci. Dengan itu, minuman tersebut kita jual bagi para pengunjung yang datang berwisata disini. Saya akan beli nanti alat-alatnya. Rumput laut juga saya lestarikan di wisata ini, saya akan lestarikan bersama wisata mangrove,” harap Munajib.
Apa yang dilakukan Munajib ini, dapat menjadi panutan bagi masyarakat Sulbar. Ia kemudian beroleh penghargaan dari Yayasan Karampuang, sebagai Karampuang Awards—pada kegiatan Hari jadi Yayasan Karampuang beberapa waktu lalu—atas  kegigihannya dalam pembagunan ekonomi kreatif. Dengan itu juga, Pak Munajib bergabung pada lembaga Korsorsium Manakarra Hijau, atas bimbingan dan kerja sama yang dilakukan Yayasan Karampuang,  guna mengajukan pengembangan Ekowisata Mangrove di Mamuju, melalu dana hibah PSDABM MCA Indonesia. “Pak Munajib sosok yang punya kepedulian besar terhadap lingkungan, utamanya pelestarian hutan Mangrove, sosok beliau mengispirasi kita. Betapa gigihnya beliau dalam mengembangkan dan melestarikan mangrove dengan biaya dan tenaga sendiri, mudah-mudahan proposal yang kita ajukan ini dapat lolos, dan untuk sementara tahapannya telah lolos konsep note dan pengajuan proposal penuh,” kata direktur Yayasan Karampuang, Aditya Yudistira Arif beberapa waktu lalu. (Muh. Iksan Hidayah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar