Sudah
menjadi pemandangan biasa saja di dua Kabupaten di Sulawesi Barat jika hamparan
pohon kelapa sawit nan luas berhamburan sejauh mata memandang, yaitu Mamuju
tengah dan Mamuju Utara. Perkebunan kelapa sawit ini pula yang sebagian besar
masyarakat didua Kabupaten ini bisa terbilang sampel petani sukses bahkan para
pegawai, pengusaha hingga para pejabatpun turut berinsvestasi dengan membeli
dan atau membuka lahan tani kelapa sawit. Hasilnya memang cukup menjanjikan,
tidak jarang kita melihat daerah yang banyak sawit maka didaerah itupun akan
banyak mobil terparkir dihalaman rumahnya, baik itu mobil pribadi maupun mobil
yang digunakan untuk mengangkut buah sawit ke Pabrik, fakta ini juga dengan
sendirinya terpatri di fikiran kita tentang adanya strata sosial atas petani
yang ada, dan tentu
saja strata petani yang teratas adalah petani kelapa sawit.
Fakta bahwa
petani kelapa sawit tidak kalah dengan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
selama dan sampai hari ini yang diandalkan oleh sebagian besar masyarakat karna
kerja sedikit tapi gaji diterima tiap bulan sementara petani kelapa sawitpun
tidak beda jauh dengan proses penerimaaan hasilnya karna petani kelapa sawit
yang proses penerimaan hasilnya juga tiap bulan dan bahkan sebagian petani
kepala sawit merasa diri lebih hebat dari seorang PNS karna mereka bahkan tidak
bekerja tetapi hanya membeli lahan dan memberi upah kepada pekrja untuk memanen
dan memupuk sewaktu-waktu lahan kelapa sawitnya tersebut, bahkan hingga
menegeluarkan upahpun mereka yang mempunyai lahan kelapa sawit minimal 3
kapling (6 hektar) masih lebih banyak hasilnya dari seorang PNS Golongan 4
sekalipun.
Selain soal
hasilnya yang menjanjikan kelapa sawit juga termasuk tanaman yang bisa
beradaptasi dengan tanah yang ditumbuhinya, tanpa memilih jenis tanah, kering
ataupun basah. Ini pula membuat satu persatu masyarakat terdorong untuk beralih
tani yang sebelumnya tani kakao lalu menebang pohon kakaonya dan menanam kalapa
sawit, dari ladang sawah menjadi perkebunan kelapa sawit, dari kebun cengkeh
yang pohonnya mengkrucut kearah langit juga menjadi lahan kelapan sawit yang
berdaun mekar, bahkan sebagian wilyah yang sebelumnya adalah Empang juga sudah
menjadi lahan lahan kelapa sawit, mungkin belum kering dari ingatan kita
tentang hamparan luas pohon karet sepanjang daerah Salu Gatta (Kab. Mamuju
Tengah) yang kini menjadi hamparan luas Kelapa Sawit. Belum lagi kita
dibenturkan dengan mentalitas masyarakat yang notabane followers dalam
berkehidupan.
Ø Kekompakan Petani Dalam Peralihannya Menjadi
Petani Kelapa Sawit
Bukan
bermaksud mengkritik atas fakta kekompakan masayarakat dalam bertani kelapa
sawit tetapi berangkat dari sebuah paradigma nalar
relasional bahwa kita perlu melihat secara utuh atas persoalan yang ada.
Faktanya bahwa tidak ada proses sosialisasi untuk mengalihkan lahan pertanian
menjadi lahan kelapa sawit, tidak ada pula proses sosialisasi untuk membuat dua
kabupaten yang dimaksud diatas agar menjadi derah yang petaninya didominasi
oleh perkebunan kelapa sawit. Fikir penulis bahwa memang benar bahwa tidak ada
sosialisasi apa lagi instruksi untuk kemudian mengalihkan lahan pertanian.
Namun ada beberapa alasan atau sebut saja beberapa
telaah penulis atas peralihan pertanian/perkebunan Petani kakao, sawah, cengkeh, dan nelayan (petani tambak empang)
yang sebenarnya karna merasa belum berkecukupan dengan mengandalkan hasil
taninya untuk menutupi kehidupan sehari-harinya bersama keluarga, biaya sekolah
dan kesehatan anak-anak dan keluarganya selain soal (1.) hasilnya yang kurang
maksimal juga karna (2.) penyakit tanaman (hama dll), serta (3.) tempat
mendistribusikan hasil tani juga masih rada kurang jelas, berbeda dengan hasil
tani kelapa sawit tidak akan tinggal berlama-lama, bahkan tidak sampai 24
jam setelah dipanen mobil pengangkut
buah kelapa sawit sudah datang untuk mengangkut ke pabrik yang sudah menjadi
langganannya. Selain memang itu, ini juga soal mentalitas followers masyarakat Sul-Bar
dan Indonesia pada umumnya yang masih mentradisi (berangkat mainsate gotong
royong yang masih tertanam dialam bawah sadar masyarakat) seperti yang penulis
jelaskan pada paragraf ketiga bagian akhir.
Ø Mengungkap Sisi Negatif Kelapa Sawit
Lagi-lagi penulis hanya ingin melihat sesuatu
dengan paradigmatik relasional (melihat sesuatu dari semua sisi yang mempunyai
keterkaitan sesuatu tersebut). Pertama adalah, makanan pokok kita adalah nasi/padi bukan minyak hasil olahan
kelapa sawit, kenapa kita perlu mengalihkan persawahan menjadi perkebunan
kelapa sawit, bukankah dalam UU No. 15/permentan/ot.140/2/2013 tentang program
peningkatan diversifikasi dan ketahanan panganmasyarakat badan ketahanan pangan
dan UU No. 65/permentan/ot.140/12/2010 tentang standar pelayanan
minimal bidang ketahanan pangan provinsi dan kabupaten/kota.
Tentang wilayah persawahan dilindungi
sebagai benteng untuk ketahanan pangan kita ataukah kita sedang menginginkan
beras “Inpor?”.Kedua adalah tentang,
hasil olahan kelapa sawit yang berbentuk minyak CPO (Crude Palm Oil) yang
dikirim keluar tiap harinya lalu datang kembali kedaerah kita menjadi minyak
goreng kemasan dengan harga yang lumayan mahal jika dibandingkan penghasilan
rata-rata masyarakat Sul-Bar. Padahal di daerah kita ini juga penghasil minyak
kelapa “Kab. Majene dan Kab Polewali Mandar yang terkenal dengan sebutan Minna’
Mandar (minyak yang terbuat dari kelapa biasa serta wanginya tiga kali
lipat lebih harum dari minyak kemasan yang dijual dipasaran), Kab. Mamuju Utara
juga telah melakukan mengembangkan usaha minyak kelapa biasanya dengan membuat
kemasan agar mampu bersaing dengan minyak kemasan lain, terutama kemasan para
tamu-tamu asing dari berbagai negeri yang menganut neoliberalisme itu yang masuk dengan berbagai macam cara, salah satu caranya adalah mereka
menggunakan jasa kesehatan para Dokter hebat-hebat katanya yang ada di amerika
serikat untuk meneliti atas dampak negatif minyak kelapa, hingga dengan kerja
samanya lagi dengan media-media maka propaganda bahaya penyakit kolestrol,
jantung dll karna terlalu mengonsumsi minyak kelapa {baca : Keretek Bukan Sekedar Rokok}. Padahal logika sederhananya
adalah apapun yang dikonsumsi terlalu banyak maka akan berpeluang menciptakan
penyakit pada tubuh kita, anehnya Dokter-Dokter dalam negeri kita malah turut
serta mengaminkan bahkan turut mengkampanyekan apa yang disabdakan
dokter-dokter asing tersebut. Ke empat, belum lagi
kita bicara tentang dampak kelingkungan sekitar, yang pertama yaitu soal bagaimana
dengan tanaman lain yang tidak berjarak jauh dengan pohon kelapa sawit, tentu
saja tanaman tersebut tidak akan subur, rambutan dan durian misalnya yang 1-2
bulan lalu hingga hari ini masih ada yang berbuah kini buahnya tidak sebesar
dan semanis dulu lagi, sebelum disekitarnya terhampar pohon kelapa sawit. Kedua
adalah tentang limbah, yang oleh kita yang pernah lewat di Km 5 sampai Km 20an
(Polohu/Mamuju Tengah), pasti akan menghirup udara tak sedap yang oleh pihak
perusahaan mengatakannya itu limbah yang dikelola jadi pupuk untuk kelapa
sawit, namun fikir penulis adalah ini pupuk untuk kelapa sawit tapi racun untuk
manusia, sampai saat ini penulis belum sempat menanyakan lagi “apakah sudah ada
pemeriksaan di labaratorium bahwa limbah yang terhirup oleh manusia tidak akan
menimbulkan penyakit atau kemungkinan juga dampak penyakit kulit melalui air
untuk mandi dll di masyarakat sekitar ?”
Yang
terakhir, sebuah fakta positif dan negatif yang yang bersumber dari perkebunan
kelapa sawit ini, setidaknya mampu mendorong kita (kita adalah siapapun,
“petani, pejabat, pemuda/mahasiswa, atau wartawan”) untuk mengerem sedikit demi
sedikit dominasi perkebunan sawit ini, karna seperti yang kita ketahui bahwa
petani sukses (berpenghasilan banyak)b elum tentu
petani baik, baik dalam artian ramah lingkungan dan sesuai kebutuhan
masyarakat.
admin ada data BPS Mamuju Tengah terkait luas lahan sawah yang terkoversi menjadi kebun kelapa sawit,, atau data dari sumber lain yang terkai. terimakasih
BalasHapus