Kamis, 31 Maret 2016

Senjakala KOTA MAMUJU


Jika mengingat 1960-an, melalui gambar-gambar terbatas yang ada, area pemukiman Mamuju kota masih sempit. Yang terhampar luas adalah tanah gambut yang ditumbuhi pohon nipa dan bakau. Jalan antara Mamuju dan Majene lebarnya hanya setapak. Hanya bisa dilewati dengan jalan kaki, paling banter kendaraan kuda. Transportasi melalui laut yang paling memungkinkan dan nyaris lancar. Jalur Mamuju kota dengan Kalukku juga masih tertutup. Jalan darat yang tersedia, tak lebih dari jalur tikus. Lagi-lagi berlayar lewat laut adalah pilihan paling memadai, meski ancaman keselamatan dipertaruhkan. Untuk menjangkau kecamatan-kecamatan lainnya, sudah bisa dibayangkan sulitnya. Para tetua-tetua Mamuju masih mengingatnya secara jernih bahwa betapa luar biasa pahitnya menjalin hubungan langsung antarkecamatan tempo dulu. Pemimpin formal Mamuju—katakanlah selama dua puluh tahun sejak daerah ini jadi Dati II (baca: kabupaten)—adalah ksatria-ksatria hebat yang mampu bertahan dan tetap membangun secara perlahan di tengah dana dan fasilitas yang serba terbatas. Di atas 1980, Mamuju mulai berubah signifikan, terlebih ketika Provinsi Sulawesi Barat terbentuk (24 September 2004) dan Mamuju dipilih sebagai ibukota provinsi. Perubahan terjadi secara drastis. Kelak ketika Kota Mamuju terwujud, dan Kabupaten Mamuju bergeser ke bawah, maka hidup baru anak cucu Makke Daeng dan Tambuli Bassi—juga warga sesamanya yang datang dari pelbagai arah—akan lebih baik, lebih makmur, dan lebih bahagia. Semoga!




Bagi warga Mamuju, hidup ‘berpisah’ dengan sesamanya sudah biasa. Hal itu dimulai ketika warga di Pasangkayu, Baras, Sarudu, dan Bambalamotu melakukannya sebelum 2003 lalu. Warga di bagian utara Mamuju itu memisahkan diri secara administratif dan ‘politis’ dari induknya, Mamuju. Mamuju Utara lahir dan tumbuh jadi sebuah kabupaten sendiri. Kehidupan baru mekar di sana. Kabupaten induk juga kian bersolek rupa. Wilayah berkurang jaraknya dan ‘sedikit’ penduduk bukanlah sebuah malapetaka melainkan berkah tersendiri. Kabupaten Mamuju selaku induk menapaki pembangunannya yang kian hari kian eksotik dan memesona. Di tengah giat-giatnya membangun, lagi-lagi muncul ide sejenis: Topoyo, Tobadak, Budong-budong, Pangale dan Karossa hendak memisahkan diri dari Kabupaten Mamuju.

Tabe’, silahkan,” begitu kira-kira warga Mamuju menyambutnya. ‘Perpisahan’ yang kedua ini resmi terjadi pada 14 Desember 2012—sesuai hari lahirnya Kabupaten Mamuju Tengah. Kini pengusulan pembentukan Kota Mamuju tengah berproses di Jakarta. Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Mamuju Basid menjelaskan bahwa konsekuensi logis terbentuknya Kota Mamuju maka Kabupaten Mamuju akan bergeser dengan menjadikan Papalang sebagai ibukota kabupaten. “Kecamatan Papalang sudah memenuhi syarat sebagai ibukota. Sudah ada kajian akademiknya. Syarat pembentukan Kota Mamuju kita sudah penuhi semua. Prosesnya sudah ada di Kemendagri,” kata Basid. Masih kata Basid, pembangunan infrastruktur di Papalang akan dibenahi. “Kajian akademiknya itu sudah ada. Infrastrukturnya sudah memadai, tinggal kantor-kantornya yang akan dibenahi. Yang jelasnya, kajian akademiknya sudah memenuhi standar, sudah memenuhi syarat,” urai Basid.

Kepada Muhammad Iksan Hidayah dari Koran Xpresindo Sabit mengatakan bahwa Bupati dan Wakil Bupati Mamuju tak mesti berkantor di Papalang. “Bupati dan wakil bupati masih berkantor di Mamuju bersama Walikota Mamuju. Kan semua aset Kota Mamuju masih aset Kabupaten Mamuju. Aset itu bisa dipakai sewa atau dibeli.” Kota Mamuju bisa dibilang sudah di depan mata. Hal itu jika dikaitkan dengan pengakuan beberapa narasumber yang sangat berkompeten. “Bulan Maret nanti, Kemendagri akan datang berkunjung ke Mamuju. Setelah itu Pemerintah bersama DPR RI yang akan menentukan atau memutuskan kelayakan pembentukan Kota Mamuju. Yang jelasnya rekomendasi Pemerintah Kabupaten Mamuju dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sudah ada,” kata Kepala Bagian Pemerintahan Mamuju.

Jika Kota Mamuju terbentuk, maka dengan sendirinya nama ibukota Provinsi Sulawesi Barat pun berubah atau tak lagi Kabupaten Mamuju. Jumlah kecamatan pun akan berubah, dari 11 kecamatan dibagi menjadi 6 kecamatan (Mamuju, Tapalang, Tapalang Barat, Simboro, Kalukku, dan Bala-balakang) yang diusulkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai wilayah Kota Mamuju, sedangkan 5 kecamatan lainnya (Papalang, Sampaga, Tommo, Bonehau, dan Kalumpang) tetap jadi wilayah Kabupaten Mamuju dengan ibukota Papalang. Sebelum ia menutup masa jabatannya sebagai Bupati Mamuju dalam periode lima tahun kedua, pada September 2015 lalu, Suhardi Duka terlebih dulu menyerahkan berkas usulan pembentukan Kota Mamuju ke Gubernur Sulawesi Barat. Dalam prosesi itu, Ketua DPRD Mamuju Hj. St. Suraidah Suhardi juga hadir di Kantor Gubernur Sulawesi Barat. Selanjutnya dokumen usulan pembentukan Kota Mamuju dilanjutkan ke Jakarta. “Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh yang menyerahkan langsung ke Mendagri di Jakarta beberapa waktu lalu,” kata narasumber koran ini.

Penjelasan tambahan diperoleh dari Asisten I Pemerintah Kabupaten Mamuju. , Syahril mengatakan, “Dokumen pembentukan Kota Mamuju sudah ada di Kemendagri, DPR-RI, dan DPD-RI. Hasilnya kita tunggu untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Kota Persiapan Mamuju sebelum statusnya benar-benar jadi Kota Mamuju sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 39 ayat 2,” kata Syahril, beberapa waktu lalu. Beberapa syarat yang diusulkan sudah lengkap, seperti wilayah (calon) Kota Mamuju mencakup 6 kecamatan, kajian naskah akademik, dukungan masyarakat yang masuk dalam wilayah kota yang dibuktikan dengan tanda tangan lurah dan desa yang diketahui oleh camat, peta wilayah dari kehutanan, rekomendasi dari DPRD Mamuju dan DPRD Sulawesi Barat, serta persetujuan Bupati Mamuju dan Gubernur Sulawesi Barat. Menurut Syahril, “Masih ada yang belum dilengkapi yakni peta tunggal yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG)—satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan untuk membuat peta. Sekarang, peta itu sementara diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Mamuju dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Dalam dokumen usulan, peta yang tampilkan adalah peta dari kehutanan, padahal yang seharusnya peta tunggal. Peta itu sudah diusulkan untuk dibuat oleh BIG, dan kita sudah siapkan anggaran,” urai Syahril.

Kepastian tentang registrasi usulan pembentukan kota di kantor kementerian datang dari Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat Abdul Wahab. “Dokumen usulan Kota Mamuju sudah terdaftar di Kemendagri pada Januari 2015,” kata Abdul Wahab Hasan Sulur kepada Nisan dari Koran Xpresindo, beberapa waktu lalu. Abdul Wahap menegaskan bahwa Kota Mamuju sudah harus segera dibentuk. “Tinggal menunggu penilaian dari tim evaluasi Kemendagri untuk verifikasi terkait kelengkapan dokumen, utamanya pembuatan peta. Tapi dalam waktu cepat ini akan dikerjakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), tapi ini harus melalui proses tender yang sudah barang tentu akan memakan waktu. Pembuatan peta itu anggarannya sekitar Rp 300 juta. Pada Juni nanti sudah bisa selesai,” jelas Wahab. Di depan sejumlah wartawan, Wahab menjelaskan bahwa pembuatan peta untuk pemekaran sebuah kota diatur dalam peraturan pemerintah dan dikerjasamakan dengan BIG. Pembuatan peta tersebut untuk memperjelas batas-batas wilayah, dengan harapan ke depan tidak ada lagi sengketa mengenai batas wilayah,” katanya.

Memang, sudah banyak pengalaman yang menjelaskan bahwa hanya karena ‘pembagian kue’ antara daerah induk dengan daerah yang akan dimekarkan toh malah terjadi keributan alias konflik. Hal itu tak boleh terjadi dalam proses pembentukan Kota Mamuju. Salah satu penyebab datangnya konflik itu antara lain tidak tuntasnya kejelasan batas wilayah, apalagi jika wilayah perbatasan itu berpotensi memiliki kandungan minyak, emas, batu bara, gas, dan yang lainnya, misalnya. Pemerintah Provinsi Sulawesi Bararat, kata Wahab, tidak ingin mengulang kejadian yang pernah terjadi. “Harus dipastikan semua. Terutama peta wilayah atau fotografi. Kita upayakan tahun ini Kota Mamuju sudah terbentuk, sebab sebetulnya ini bagian dari persyaratan hadirnya sebuah provinsi,” jelas Jamil Barambangi, pelaksana harian Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat. (Nisan PR, M. Iksan HD, Sarman SHD )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar