Sabtu, 09 April 2016

CANDA TAWA DI ATAS POHON

Rasa penasaran mendengar cerita dari Lalu Artana dan Arwin—wartawan Mamuju—tentang rumah di atas pohon, bahkan mereka sempat memperlihatkan kepada saya potho-potho mereka ketika berkunjung kerumah pohon itu. Menarik memang indah dan sederhana melihat gambar di handpone teman kami ini. Cerita dan gambar yang di perliahtkan, rasa penasaranpun makin bertambah, ingin segera ketempat itu dan melihatnya langsung.


Malam itu rabu, 6 april 2016 sekitar pukul 21.00 saya menuju lokasi letak rumah diatas pohon itu, kurang lebih 4 km jarak tempuhnya, di rangas tempatnya—pas belakang Masjid yang sementara dibangun—dekat dengan kompleks perkantoran Gubernur. Di perjalanan saya kemudian bertemu dengan empat orang adik junior di salah satu perguruan tinggi di Mamuju, Ali Akbar, Wais Wakorli dan Heri namanya. Saya sudah lama akrab dengan mereka, ia bertiga rupanya hendak dengan tujuan yang sama—rumah diatas pohon. Singkat cerita kamipun berempat tiba di lokasi Rumah Pohon itu. Kami kemudian memarkir kendaraan kami di bawah kolong rumah salah satu warga. Kami harus jalan kaki untuk kesana, sebab tanjakan harus dilalui untuk tiba di lokasi tersebut. Kurang lebih 100 meter berjalan kaki untuk tiba disana lutut dan wajah hampir bertemu ketika menlangkah yah... lumayan nafas terhenggalpun terdengar di kami berempat ini. Cahaya lapu ditengah rimbun pohon-pohon besar menandakan lokasi tersebut tidak lama lagi kan segera tiba. Waalaikum Salam begitulah kira-kira suara jawaban dari salah satu dari beberapa orang yang di tempat itu menjawab Salam Ali Akbar.
Setiba diatas kami melihat I’am—Abdul Rahman sapaan akrabnya—bersama Arman dan dua orang temannya lagi sedang mencangkul gundukan tanah yang ia ratakan yang nantinya akan dijadikan taman-taman kecil. I’am kemudian melentakkan cangkulnya dan menawarkan salam berjabat kepada kami—salam jabat tangan, yang sudah menjadi tradisi pada setiap perjumpaan—dan mengajak untuk masuk kedalam rumah pohon ini.
Sembelum berjalan naik tangga rumah pohon ini, memuaskan diri melihat rumah yang di buat diatas pohon, meski tak cukup tinggi jarak antara tanah dan rumah ini, cukup memesona di pandang mata, sebab desain rumah yang berukuran 3x6 meter yang terbuat dari bambu kecil berukuran ibu jari yang di susun sebagai diniding rumah. Kurang lebih 600 bambu kecil dihabiskan untuk membuat dinding rumah berukuran 3x6 meter beratapkan daun rumbia, dan ditambah 4x3 meter tempat duduk di depan rumah pohon ini. Baru sebulan ia buat rumah diatas pohon ini, dikreatori oleh Aco 28 tahun—sapaan akrap Naspiuddin, Mahasiswa fakultas tehnik Universitas Tomakaka—dan I’am 27 tahun perpaduan dua ilmu, ilmu Tehinik dan ilmu pecinta Alam. I’am selaku mantan ketua Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Tomakaka Sulbar, juga pernah membuat—bersama teman-temannya Mapala Klorofil—rumah dari bambu yang menjadi tempat ngumpul anak-anak mahasiswa juga sampai sekarang menjadi sekretariat Mahasiswa Pencinta Alam Klorofil Tomakaka yang sekarang di ketuai oleh Martono, letaknya di belakang Kampus Universitas Tomakaka Sulbar.
Di sebelah timur rupanya 3 pemuda ini—Aco, i’am dan Arman—juga beternak ayam kampung, dengan luas kandangnya itu kurang lebih 12x6 meter dengan jumlah 60 ekor ayam yang sementara di peliharanya. Di bawah pohon besar yang rindang ini, kami tak puas menatap dan menikmati keindahan suasana dirumah pohon ini pada malam hari, hanya desain arsitektur yang sederhana rumah ini kami memandangnya. Malam yang dingin hanya terdengar suara hempasan angin yang membuat dedaunan berguguran, suara jengkrik dan kicau burung bersautan kami duduk teras yang berukuran 5x3 meter yang terbuat dari bambu juga. Duduk diatas ketinggian tanpa tiang yang hanya melekat pada pohon besar dan ikatan tali labram—tali yang terbuat dari besi—diikat dari sudut kesudut, sehingga terasa melayang di udara.
Canda dan tawa, dari cerita kecerita mengalir dari teman kami ini, sementara i’am yang sementara membuat kopi juga ikut berceloteh menyambut kedatangan kami. Nyamuk-nyamukpun ikut berpesta menyambut santapan baru, seehingga tepukan-demi tepukan di lengan para teman-teman juga terdengar. Kopi buatan i’ampun mulai di seduh, pertanyaan demi pertanyaan saya lontarkan terkait kreasi dan motifasi membuat karya seperti ini. Cukup unik memang tempat yang dibangun di atas pohon. “Namanya juga mahasiswa pecinta alam, ya sudah pasti dia suka tinggal di hutan-hutan, dan membuat rumah di atas pohon,” sindir Ali Akbar kepada i’am dengan tawa.
Ditengah kreatifitas yang mendorong keindahan dan kenyamanan, mebuktikan kerja nyata selaku pemuda yang kreatif. Tantangan hidup yang cukub terbilang bersaing, kita dituntuk untuk kreatif mandiri diri, menciptakan peluang pasar yang dapat mengakses perekonomian kedepanya. Beternak ayam salah satu jawaban tiga pemuda ini untuk dapat bersaing ditengah Arus Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang saat ini kita hadapi. Tiga pemuda yang menjadi inspirasi itu, juga nantinya lahir pemuda-pemuda kreatif yang lain di Sulbar, yang dengan sendirinya pengangguran bagi para pemuda itu mulai berkurang.
 Waktu tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 01.00 kamipun pamit kepada tiga sekawan penjaga rumah di atas pohon ini. Kami berencana akan kembali ketempat ini, mungkin besok atau lusa dengan suasan yang berbeda. Atau mungkin dengan acara bakar ayam ketika ayam yang dipelira itu sudah layak di potong. (Muh. Iksan Hidayah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar