Minggu, 01 Mei 2016

DARI TEMPURUNG KELAPA KARYA TERCIPTA



Junaedi Tora 25 tahun, seorang pengrajin tempurung kelapa, Ia tinggal di lingkungan Pure Selatan, Kelurahan Sinyonyoi—tidak jauh dari Bandara Tampa Padang—Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju. Ia hanya bermodalkan peralatan sederhana untuk membuat ragam bentuk yang dihasilkan, Seperti: cangkir, cerek, asbak rokok, miniatur perahu, muniatur kapal, miniatur kakao dan beberapa pernak-pernik pajangan yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. 


Juned sapaan akrapnya, ia bercerita, awalnya, ia mulai mengumpulkan limbah tempurung kelapa yang ada di sekitar rumahnya itu sejak tujuh bulan lalu, ia kemudian membersihkan dan membentuk beberapa tempurung kelapa yang telah di kumpulkan itu—dengan peralatan yang seadanya seperti, gergaji, amplas, cat dan lain-lain—menyerupai cangkir atau gelas. Hasil karya perdana, pria Kelahiran 1990 silam ini, dikirim ke salah satu kerabatnya yang ada di Kalumpang untuk dipasarkan. Menurutnya, cangkir berbahan batok kelapa yang dikirim ke Kalumpang ini, sering dipakai kerabatnya dalam menyajikan kopi kepada tamu yang berkujung kerumahnya, sehingga masyarakat Kalumpang dengan sendirinya mulai tertarik. Walhasil pesanan banyakpun mulai berdatangan kerumah Junaedi, di Pure, Kecamatan Kalukku.
 Banyaknya pesanan yang datang kerumah Junaedi ini, membuatnya semakin optimis bahwa usaha kerajinan tempurung kelapa yang baru ia rintis, dapat menjanjikan keuntungan. “Setelah karya pertama saya yang berupa cangkir, mulai diminati masyarakat, maka saya semakin semangat untuk menggeluti usaha ini. Bahkan cangkir buatan pertama saya yang sangat sederhana mulai saya hiasi dengan beraneka ragam ukiran. Hal ini saya lakukan supaya minat pembeli semakin meningkat,” cerita Junaedi kepada Koran ini, di kediamannya, di Pure, Kecamatan Kalukku, 17 Februari 2016.
Juned pun terus berinovasi, dengan modal yang ia kumpulkan dari hasil jualan karyanya ini. Ia pun kemudian memperbanyak motif—tentunya sama dari tempurung kelapa—seperti gambar hewan, miniatur perahu sandeq, miniatur kapal, asbak rokok, celengan, tempat tissu, pot bunga, miniatur kakao dan masih banyak lagi karya dalam bentuk pajangan yang di buat Junaedi. “Saya sudah membuat banyak karya dalam beraneka ragam bentuk. Yang bahannya sama dari tempurung kelapa,” kata Juned lagi sembari merapikan hasil karyanya ini.
Lelaki yang sudah dikaruniai satu anak ini, mengatakan, mengubah limbah kelapa menjadi benda yang bernilai seni tidaklah sulit baginya. Dalam sehari Ia mampu membuat 2-3 karya, diantaranya, gambar hewan, miniatur kakao dan  miatur perahu. Jika karyanya itu dihitung dengan rupiah, maka dapat dirata-ratakan mampu memproduksi uang sebanyak Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu dalam sehari. Menurut Juned, penghasilan yang ia dapatkan dari penjualan kerajinan tangannya itu sudah lebih dari cukup untuk menafkahi keluarganya.
Dalam  menjalankan usaha pria kekar bekuliat sawo matang ini, tidak sendiri. Perjuangan dalam berkarya di topang oleh sang istri tercintanya, Resti namanya. Resti adalah sosok perempuan yang kreatif dan agresif dalam membantu suaminya. Ia mengambil peran, dalam memasarkan hasil karya suaminya keberbagai tempat seperti tokoh oleh-oleh yang ada di kota Mamuju, dan menawarkan kepada orang-orang hasil karya Suaminya itu. Resti menyebutkan, beberapa waktu yang lalu, Karya yang telah di buat Suaminya telah ia kirim ke Pulau Dewata Bali untuk dipromosikan.
“Saya telah memasarkan hasil kerajinan suami saya ini ke toko oleh-oleh yang ada di kota Mamuju, dan saya juga sementara mempersiapkan tempat penjualan di Bandara Tampak Padang Mamuju. selain itu, saya sudah kirim keteman yang ada di Pulau Dewata Bali, untuk diperkenalkan ke para wisatawan yang ada  disana, jika mereka tertarik, maka kami akan berlangganan kesana,” tutur Resti.
Ia menjual hasil kerajinan suaminya, dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu tergantung dari modelnya. Dalam seminggu, Ia dua kali ke Mamuju untuk memasarkan hasil kerajinannya. Semua barang yang ia bawa, selalu habis terjual, itu artinya kerajinan batok kelapa milik juned dan istrinya diminati banyak orang.
Setiap karya kerajinan batok kelapak milik Juned, dalam bentuk apapun, selamanya dipasangi label yang bertuliskan “Sambabo Face”. Sambabo merupaknan nama salah satu objek wisata air terjun yang ada di Desa Sambabo Kecamatan Bambang Kabupaten Mamasa. Ia sengaja menggunakan nama itu, agar  bisa memperkenalkan pariwisata yang ada di Sulbar kepada pelanggannya. “Saya sengaja menggunakan nama Sambabo, agar objek wisata air terjun yang ada di Kecamatan Bambambang, Kabupaten Mamasa  itu dikenal orang. Sebab Sambabo merupakan salah satu aset wisata Sulbar yang belum terkelolah dengan baik.
Juned Bersama Istrinya berharap, dimasa yanga akan datang usaha saat  ini iageluti,  bisa semakin besar dan dapat mempekerjakan anak-anak putus sekolah yang ada di sekitarnya. Selain itu, ia juga mengharapkan, perhatian dari pemerintah Sulawesi Barat, melalui dinas koperasi, dan perindustrian daerah untuk meberikan bantuan modal, agar usaha kerajinan yang digeluti Juned bisa berkembang. (Nisan Parokkak/ Muh. Iksan Hidayah)

MELAWAN MALU


Malu adalah salah satu sifat yang ada dalam diri manusia, entah pada sifat manusia itu sendiri malu pada jalan positif atau malu ketika berbuat hal yang negative. Namun sifat malu yang dimiliki dua pemuda ini harus ia lawan demi tuntutan kebutuhan hidup dan tambahan pembayaran kuliahnya.
Malu, ya.. sifat pemalu yang kadang membutuhkan keberanian untuk menaklukkan yang namanya rasa malu, entah itu malu karena gengsi ataukah malu karena perbuatan yang ia perbuat melanggar norma. Tapi tidak bagi dua sosok pemuda ini, melawan rasa malu untuk berjualan kopi keliling, sudah barang tentu pekerjaannya mulia, yang sudah jarang kita temui pemuda zaman sekarang meggeluti pekerjaan yang seperti itu. Apa lagi berjualan di tempat keramain, sebagaian mungkin malu karena gengsi tidak ingin dilihat teman-temanya, dilihat guru atau dosennya, atau dilihat pacar atau sahabatnya. Sultan dan Said, mahasiswa Kesehatan—salah satu perguruan tinggi di Mamuju—yang berani mengambil sikap untuk berusaha sendiri dengan berjualan kopi keliling. Kedua pemuda itu mengaku berani berjualan kopi keliling di karenakan kebutuhan hidup di mamuju, biaya kuliah dirinya dan biaya kos di mamuju yang lumayan tinggi biayanya. Meski rasa malu kerap menghampiri dirinya ketika melayani pembeli, tapi karena tekat yang bulat, usaha tersebut tetap ia geluti. “Awalnya kami malu ka’, tapi mau diapami karena kadang terdesakka biaya kuliah dan kosku di Mamuju,” kata Sultan di Pantai Anjungan Mankaarra beberapa waktu lalu.
Sultan dan Said mengahibiskan waktu malamnya untuk berjualan kopi keliling, di wilayah kota Mamuju terutama Pantai Anjungan Manakarra—yang tiap malam ramai dikunjungi, para pengunjung yang hanya ingi bersantai atau sekedar jalan-jalan—menjadi tempat paforit Sultan dan Said menghibiskan waktunya untuk berjualan.  Sultan yang saat ini berumur 24 tahun dan Said 21 tahun. Pada malam itu ia sedang sibuk melayani pesanan kopi para pengunjung secara bergantian, ia bercerita, awal memulai berjualan kopi keliling. Sultan yang saat itu berinisiatif pulang ke kampung halaman untuk mencari sepeda tua—yang sekarang ini lagi ngetren di kalangan anak muda atau yang biasa di sebut sepeda ontel—yang akan gunakan dalam memulai jualan kopi keliling. Sepeda tua yang Sultan temukan itu di kampungnya, ia kemudian membelinya, terpaksa Sultan merongoh tabungan yang selama ini ia simpan untukdesakan pembayaran kuliahnya. Sepeda tua yang Sultan beli itu kemudian ia memodifikasi—dengan menggunakan papan di bagian belakang sepeda dan kantungan untuk kopi saset dan di beri tulisan ‘kopling’ singkatan dari Kopi Keliling di bagian tengah dan belakang sepeda—agar dapat menampung barang yang akan ia bawa seperti, berbagai macam merk kopi saset, tempat penampung air panas dan lain-lain. “Kadang kami ka’ mendapat teguran dan larangan oleh Petugas Satpol- PP untuk berjualan di sini, ya sayapun kemudian pindah ketempat yang tidak terpantau petugas, kemudian pindah lagi ketempat itu, ketika petugas Satpol-PP sudah pergi,” cerita Sultan dan Said. Lanjut Sultan bercerita, ia biasanya beroleh pembeli 10 sampai 15 gelas kopi dalam satu malam dengan harga satu gelas kopi itu Rp. 5.000, dan kalau malam minggu ia dapat beroleh 20 sampai 25 gelas yang laris terjual. “Itu kalau cuaca mendukung ka’ kalau tidak kami tidak keluar berjualan dan Alhamdulillah, kalau kami hitung-hitung kami bias dapat keuntungan dalam satu bulan itu mencapai  1 juta sampai 1,5 juta rupiah yah… dapat menambah kebutuhan koss dan biaya kuliah,” seloroh Sultan dengan wajah yang penuh senyum itu.
Sultan dan Said berkeinginan manmbah Sepeda untuk berjualan di kantor-kantor, karena menurut Sultan berjualan Kopi di kantor-kantor sangat dibutuhkan para pekerja kantoran ketika sedang beristirahat. “Orang yang bekerja di kantoran itukan siang hari, jadi kalau malam hari saya kembali menjual di pantai,” Kata Sultan. (Muh. Iksan Hidayah)

Sabtu, 09 April 2016

CANDA TAWA DI ATAS POHON

Rasa penasaran mendengar cerita dari Lalu Artana dan Arwin—wartawan Mamuju—tentang rumah di atas pohon, bahkan mereka sempat memperlihatkan kepada saya potho-potho mereka ketika berkunjung kerumah pohon itu. Menarik memang indah dan sederhana melihat gambar di handpone teman kami ini. Cerita dan gambar yang di perliahtkan, rasa penasaranpun makin bertambah, ingin segera ketempat itu dan melihatnya langsung.


Malam itu rabu, 6 april 2016 sekitar pukul 21.00 saya menuju lokasi letak rumah diatas pohon itu, kurang lebih 4 km jarak tempuhnya, di rangas tempatnya—pas belakang Masjid yang sementara dibangun—dekat dengan kompleks perkantoran Gubernur. Di perjalanan saya kemudian bertemu dengan empat orang adik junior di salah satu perguruan tinggi di Mamuju, Ali Akbar, Wais Wakorli dan Heri namanya. Saya sudah lama akrab dengan mereka, ia bertiga rupanya hendak dengan tujuan yang sama—rumah diatas pohon. Singkat cerita kamipun berempat tiba di lokasi Rumah Pohon itu. Kami kemudian memarkir kendaraan kami di bawah kolong rumah salah satu warga. Kami harus jalan kaki untuk kesana, sebab tanjakan harus dilalui untuk tiba di lokasi tersebut. Kurang lebih 100 meter berjalan kaki untuk tiba disana lutut dan wajah hampir bertemu ketika menlangkah yah... lumayan nafas terhenggalpun terdengar di kami berempat ini. Cahaya lapu ditengah rimbun pohon-pohon besar menandakan lokasi tersebut tidak lama lagi kan segera tiba. Waalaikum Salam begitulah kira-kira suara jawaban dari salah satu dari beberapa orang yang di tempat itu menjawab Salam Ali Akbar.
Setiba diatas kami melihat I’am—Abdul Rahman sapaan akrabnya—bersama Arman dan dua orang temannya lagi sedang mencangkul gundukan tanah yang ia ratakan yang nantinya akan dijadikan taman-taman kecil. I’am kemudian melentakkan cangkulnya dan menawarkan salam berjabat kepada kami—salam jabat tangan, yang sudah menjadi tradisi pada setiap perjumpaan—dan mengajak untuk masuk kedalam rumah pohon ini.
Sembelum berjalan naik tangga rumah pohon ini, memuaskan diri melihat rumah yang di buat diatas pohon, meski tak cukup tinggi jarak antara tanah dan rumah ini, cukup memesona di pandang mata, sebab desain rumah yang berukuran 3x6 meter yang terbuat dari bambu kecil berukuran ibu jari yang di susun sebagai diniding rumah. Kurang lebih 600 bambu kecil dihabiskan untuk membuat dinding rumah berukuran 3x6 meter beratapkan daun rumbia, dan ditambah 4x3 meter tempat duduk di depan rumah pohon ini. Baru sebulan ia buat rumah diatas pohon ini, dikreatori oleh Aco 28 tahun—sapaan akrap Naspiuddin, Mahasiswa fakultas tehnik Universitas Tomakaka—dan I’am 27 tahun perpaduan dua ilmu, ilmu Tehinik dan ilmu pecinta Alam. I’am selaku mantan ketua Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Tomakaka Sulbar, juga pernah membuat—bersama teman-temannya Mapala Klorofil—rumah dari bambu yang menjadi tempat ngumpul anak-anak mahasiswa juga sampai sekarang menjadi sekretariat Mahasiswa Pencinta Alam Klorofil Tomakaka yang sekarang di ketuai oleh Martono, letaknya di belakang Kampus Universitas Tomakaka Sulbar.
Di sebelah timur rupanya 3 pemuda ini—Aco, i’am dan Arman—juga beternak ayam kampung, dengan luas kandangnya itu kurang lebih 12x6 meter dengan jumlah 60 ekor ayam yang sementara di peliharanya. Di bawah pohon besar yang rindang ini, kami tak puas menatap dan menikmati keindahan suasana dirumah pohon ini pada malam hari, hanya desain arsitektur yang sederhana rumah ini kami memandangnya. Malam yang dingin hanya terdengar suara hempasan angin yang membuat dedaunan berguguran, suara jengkrik dan kicau burung bersautan kami duduk teras yang berukuran 5x3 meter yang terbuat dari bambu juga. Duduk diatas ketinggian tanpa tiang yang hanya melekat pada pohon besar dan ikatan tali labram—tali yang terbuat dari besi—diikat dari sudut kesudut, sehingga terasa melayang di udara.
Canda dan tawa, dari cerita kecerita mengalir dari teman kami ini, sementara i’am yang sementara membuat kopi juga ikut berceloteh menyambut kedatangan kami. Nyamuk-nyamukpun ikut berpesta menyambut santapan baru, seehingga tepukan-demi tepukan di lengan para teman-teman juga terdengar. Kopi buatan i’ampun mulai di seduh, pertanyaan demi pertanyaan saya lontarkan terkait kreasi dan motifasi membuat karya seperti ini. Cukup unik memang tempat yang dibangun di atas pohon. “Namanya juga mahasiswa pecinta alam, ya sudah pasti dia suka tinggal di hutan-hutan, dan membuat rumah di atas pohon,” sindir Ali Akbar kepada i’am dengan tawa.
Ditengah kreatifitas yang mendorong keindahan dan kenyamanan, mebuktikan kerja nyata selaku pemuda yang kreatif. Tantangan hidup yang cukub terbilang bersaing, kita dituntuk untuk kreatif mandiri diri, menciptakan peluang pasar yang dapat mengakses perekonomian kedepanya. Beternak ayam salah satu jawaban tiga pemuda ini untuk dapat bersaing ditengah Arus Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang saat ini kita hadapi. Tiga pemuda yang menjadi inspirasi itu, juga nantinya lahir pemuda-pemuda kreatif yang lain di Sulbar, yang dengan sendirinya pengangguran bagi para pemuda itu mulai berkurang.
 Waktu tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 01.00 kamipun pamit kepada tiga sekawan penjaga rumah di atas pohon ini. Kami berencana akan kembali ketempat ini, mungkin besok atau lusa dengan suasan yang berbeda. Atau mungkin dengan acara bakar ayam ketika ayam yang dipelira itu sudah layak di potong. (Muh. Iksan Hidayah)

Kamis, 31 Maret 2016

Senjakala KOTA MAMUJU


Jika mengingat 1960-an, melalui gambar-gambar terbatas yang ada, area pemukiman Mamuju kota masih sempit. Yang terhampar luas adalah tanah gambut yang ditumbuhi pohon nipa dan bakau. Jalan antara Mamuju dan Majene lebarnya hanya setapak. Hanya bisa dilewati dengan jalan kaki, paling banter kendaraan kuda. Transportasi melalui laut yang paling memungkinkan dan nyaris lancar. Jalur Mamuju kota dengan Kalukku juga masih tertutup. Jalan darat yang tersedia, tak lebih dari jalur tikus. Lagi-lagi berlayar lewat laut adalah pilihan paling memadai, meski ancaman keselamatan dipertaruhkan. Untuk menjangkau kecamatan-kecamatan lainnya, sudah bisa dibayangkan sulitnya. Para tetua-tetua Mamuju masih mengingatnya secara jernih bahwa betapa luar biasa pahitnya menjalin hubungan langsung antarkecamatan tempo dulu. Pemimpin formal Mamuju—katakanlah selama dua puluh tahun sejak daerah ini jadi Dati II (baca: kabupaten)—adalah ksatria-ksatria hebat yang mampu bertahan dan tetap membangun secara perlahan di tengah dana dan fasilitas yang serba terbatas. Di atas 1980, Mamuju mulai berubah signifikan, terlebih ketika Provinsi Sulawesi Barat terbentuk (24 September 2004) dan Mamuju dipilih sebagai ibukota provinsi. Perubahan terjadi secara drastis. Kelak ketika Kota Mamuju terwujud, dan Kabupaten Mamuju bergeser ke bawah, maka hidup baru anak cucu Makke Daeng dan Tambuli Bassi—juga warga sesamanya yang datang dari pelbagai arah—akan lebih baik, lebih makmur, dan lebih bahagia. Semoga!




Bagi warga Mamuju, hidup ‘berpisah’ dengan sesamanya sudah biasa. Hal itu dimulai ketika warga di Pasangkayu, Baras, Sarudu, dan Bambalamotu melakukannya sebelum 2003 lalu. Warga di bagian utara Mamuju itu memisahkan diri secara administratif dan ‘politis’ dari induknya, Mamuju. Mamuju Utara lahir dan tumbuh jadi sebuah kabupaten sendiri. Kehidupan baru mekar di sana. Kabupaten induk juga kian bersolek rupa. Wilayah berkurang jaraknya dan ‘sedikit’ penduduk bukanlah sebuah malapetaka melainkan berkah tersendiri. Kabupaten Mamuju selaku induk menapaki pembangunannya yang kian hari kian eksotik dan memesona. Di tengah giat-giatnya membangun, lagi-lagi muncul ide sejenis: Topoyo, Tobadak, Budong-budong, Pangale dan Karossa hendak memisahkan diri dari Kabupaten Mamuju.

Tabe’, silahkan,” begitu kira-kira warga Mamuju menyambutnya. ‘Perpisahan’ yang kedua ini resmi terjadi pada 14 Desember 2012—sesuai hari lahirnya Kabupaten Mamuju Tengah. Kini pengusulan pembentukan Kota Mamuju tengah berproses di Jakarta. Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Mamuju Basid menjelaskan bahwa konsekuensi logis terbentuknya Kota Mamuju maka Kabupaten Mamuju akan bergeser dengan menjadikan Papalang sebagai ibukota kabupaten. “Kecamatan Papalang sudah memenuhi syarat sebagai ibukota. Sudah ada kajian akademiknya. Syarat pembentukan Kota Mamuju kita sudah penuhi semua. Prosesnya sudah ada di Kemendagri,” kata Basid. Masih kata Basid, pembangunan infrastruktur di Papalang akan dibenahi. “Kajian akademiknya itu sudah ada. Infrastrukturnya sudah memadai, tinggal kantor-kantornya yang akan dibenahi. Yang jelasnya, kajian akademiknya sudah memenuhi standar, sudah memenuhi syarat,” urai Basid.

Kepada Muhammad Iksan Hidayah dari Koran Xpresindo Sabit mengatakan bahwa Bupati dan Wakil Bupati Mamuju tak mesti berkantor di Papalang. “Bupati dan wakil bupati masih berkantor di Mamuju bersama Walikota Mamuju. Kan semua aset Kota Mamuju masih aset Kabupaten Mamuju. Aset itu bisa dipakai sewa atau dibeli.” Kota Mamuju bisa dibilang sudah di depan mata. Hal itu jika dikaitkan dengan pengakuan beberapa narasumber yang sangat berkompeten. “Bulan Maret nanti, Kemendagri akan datang berkunjung ke Mamuju. Setelah itu Pemerintah bersama DPR RI yang akan menentukan atau memutuskan kelayakan pembentukan Kota Mamuju. Yang jelasnya rekomendasi Pemerintah Kabupaten Mamuju dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sudah ada,” kata Kepala Bagian Pemerintahan Mamuju.

Jika Kota Mamuju terbentuk, maka dengan sendirinya nama ibukota Provinsi Sulawesi Barat pun berubah atau tak lagi Kabupaten Mamuju. Jumlah kecamatan pun akan berubah, dari 11 kecamatan dibagi menjadi 6 kecamatan (Mamuju, Tapalang, Tapalang Barat, Simboro, Kalukku, dan Bala-balakang) yang diusulkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai wilayah Kota Mamuju, sedangkan 5 kecamatan lainnya (Papalang, Sampaga, Tommo, Bonehau, dan Kalumpang) tetap jadi wilayah Kabupaten Mamuju dengan ibukota Papalang. Sebelum ia menutup masa jabatannya sebagai Bupati Mamuju dalam periode lima tahun kedua, pada September 2015 lalu, Suhardi Duka terlebih dulu menyerahkan berkas usulan pembentukan Kota Mamuju ke Gubernur Sulawesi Barat. Dalam prosesi itu, Ketua DPRD Mamuju Hj. St. Suraidah Suhardi juga hadir di Kantor Gubernur Sulawesi Barat. Selanjutnya dokumen usulan pembentukan Kota Mamuju dilanjutkan ke Jakarta. “Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh yang menyerahkan langsung ke Mendagri di Jakarta beberapa waktu lalu,” kata narasumber koran ini.

Penjelasan tambahan diperoleh dari Asisten I Pemerintah Kabupaten Mamuju. , Syahril mengatakan, “Dokumen pembentukan Kota Mamuju sudah ada di Kemendagri, DPR-RI, dan DPD-RI. Hasilnya kita tunggu untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Kota Persiapan Mamuju sebelum statusnya benar-benar jadi Kota Mamuju sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 39 ayat 2,” kata Syahril, beberapa waktu lalu. Beberapa syarat yang diusulkan sudah lengkap, seperti wilayah (calon) Kota Mamuju mencakup 6 kecamatan, kajian naskah akademik, dukungan masyarakat yang masuk dalam wilayah kota yang dibuktikan dengan tanda tangan lurah dan desa yang diketahui oleh camat, peta wilayah dari kehutanan, rekomendasi dari DPRD Mamuju dan DPRD Sulawesi Barat, serta persetujuan Bupati Mamuju dan Gubernur Sulawesi Barat. Menurut Syahril, “Masih ada yang belum dilengkapi yakni peta tunggal yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG)—satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan untuk membuat peta. Sekarang, peta itu sementara diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Mamuju dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Dalam dokumen usulan, peta yang tampilkan adalah peta dari kehutanan, padahal yang seharusnya peta tunggal. Peta itu sudah diusulkan untuk dibuat oleh BIG, dan kita sudah siapkan anggaran,” urai Syahril.

Kepastian tentang registrasi usulan pembentukan kota di kantor kementerian datang dari Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat Abdul Wahab. “Dokumen usulan Kota Mamuju sudah terdaftar di Kemendagri pada Januari 2015,” kata Abdul Wahab Hasan Sulur kepada Nisan dari Koran Xpresindo, beberapa waktu lalu. Abdul Wahap menegaskan bahwa Kota Mamuju sudah harus segera dibentuk. “Tinggal menunggu penilaian dari tim evaluasi Kemendagri untuk verifikasi terkait kelengkapan dokumen, utamanya pembuatan peta. Tapi dalam waktu cepat ini akan dikerjakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), tapi ini harus melalui proses tender yang sudah barang tentu akan memakan waktu. Pembuatan peta itu anggarannya sekitar Rp 300 juta. Pada Juni nanti sudah bisa selesai,” jelas Wahab. Di depan sejumlah wartawan, Wahab menjelaskan bahwa pembuatan peta untuk pemekaran sebuah kota diatur dalam peraturan pemerintah dan dikerjasamakan dengan BIG. Pembuatan peta tersebut untuk memperjelas batas-batas wilayah, dengan harapan ke depan tidak ada lagi sengketa mengenai batas wilayah,” katanya.

Memang, sudah banyak pengalaman yang menjelaskan bahwa hanya karena ‘pembagian kue’ antara daerah induk dengan daerah yang akan dimekarkan toh malah terjadi keributan alias konflik. Hal itu tak boleh terjadi dalam proses pembentukan Kota Mamuju. Salah satu penyebab datangnya konflik itu antara lain tidak tuntasnya kejelasan batas wilayah, apalagi jika wilayah perbatasan itu berpotensi memiliki kandungan minyak, emas, batu bara, gas, dan yang lainnya, misalnya. Pemerintah Provinsi Sulawesi Bararat, kata Wahab, tidak ingin mengulang kejadian yang pernah terjadi. “Harus dipastikan semua. Terutama peta wilayah atau fotografi. Kita upayakan tahun ini Kota Mamuju sudah terbentuk, sebab sebetulnya ini bagian dari persyaratan hadirnya sebuah provinsi,” jelas Jamil Barambangi, pelaksana harian Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat. (Nisan PR, M. Iksan HD, Sarman SHD )

Selasa, 29 Maret 2016

INDERAKU UNTUK INDONESIAKU




Oleh : Muh. Iksan Hidayah



Mata ini telah tertutup
Mata ini tak mampuh melihat kebohongan dan kepalsuan yang mengakar dinegri ini,
Mata ini tak mampuh melihat siriq sebagai  topeng untuk berbuat hanya kepuasan hasrat belaka

Hidung ini tak bernafas lagi
Sebab udara yang dihirup membawa bau bangkai busuk kekuasaan yang panuh dengan debu sesak nafas mematikan

Tangan ini tak bergerak lagi
Sebab apa yang ia lakukan mengisi perut kenikmatan jari jemari menjemput kertas menjara bunda ibu pertiwi

Kaki ini tak bergerak lagi
Sebab langkah yang ia goyahkan terang jalan menuju jurang
Keserakahan

Kulit ini telah mati rasa
Sebab apa yang ia rasakan hanya kenikmatan sesaat
Yang akan musnah ditelan waktu

Aku telah mati … ya.. aku telah mati
Saat indera ini saat diri ini telah asik memainkan panggung drama kehidupan

Aku telah mati saat aku menari indah dalam sandiwara kehidupan

Tetapi Tuhan telah menghidupkan aku kembali…
Lalu Tuhan bertanya kepadaku
Di negeri mana engkau kan tempati…?

aku berkata pada tuhanku…
tempatkan aku dinegeriku kembali Indonesia
ya.. Indonesia negeriku, negeri yang indah dari segala negeri
 negeri yang kaya dari segala negeri, negeri yang makmur dari segala negeri, negeri yang menyimpan sejarah peradaban manusia.

Karampuang, 04 Nopember 2010